Tentara Bayaran

Tentara Bayaran

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Tentara bayaran atau mercenaries, juga populer dengan soldier of fortune adalah tentara yang bertempur dan menyerang dalam sebuah pertempuran demi uang, dan biasanya dengan sedikit penghargaan terhadap ideologi, kebangsaan atau paham politik. Di satu sisi, tentara bayaran melakukan pekerjaan tanpa terikat oleh kesetiaan kepada negara

Munculnya tentara bayaran umumnya karena adanya konflik-konflik terutama di negara dunia ketiga yang umumnya selalu berkutat dalam masalah politik, kekuasaan, sumber dan kepentingan ekonomi, serta masalah agama dan etnis, sehingga meminta penguasa penguasa atau pihak pihak yang terlibat didalamnya meminta bantuan negara-negara lain terutama negara-negara maju. Selain itu adanya kepentingan rahasia dari negara maju atau negara adikuasa bahkan operasi-operasi intelijen sehingga dikenal dengan istilah perang kotor.

Umumnya yang menjadi tentara bayaran adalah mantan anggota tentara atau anggota tentara yang telah habis masa dinasnya atau tentara yang terpaksa dikeluarkan dari dinas militer baik karena sanksi personel ataupun karena pengurangan personel dalam tubuh angkatan bersenjata. Untuk menghindari gejolak sosial, khusunya di negara negara maju dibentuklah suatu badan usaha yang bersifat swasta yang bergerak dalam jasa keamanan yang dikenal dengan kontraktor militer swasta (Private Militery Contractors atau PMC) yang sebenarnya bergerak dalam jasa suplai, pelatihan, pengamanan namun juga sering terlibat dalam konflik bahkan aksi militer terutama atas permintaan pemakai jasa (dalam hal ini lembaga pemerintah bahkan unsur pemberontak).

Biasanya personel yang terlibat merasa bahwa dirinya masih dianggap layak untuk berdinas di dalam ketentaraan, juga memiliki keahlian khusus dalam dunia ketentaraan misalnya mantan anggota pasukan khusus yang umumnya disukai karena keterampilannya dan kebiasaan berada dalam unit unit tempur kecil yang mandiri, atau karena keinginan atau jiwa militer yang masih melekat dalam diri para mantan anggota militer, atau karena bayaran yang diperoleh bisa lebih tinggi daripada ketika masih berdinas dalam institusi militer. Aksi mereka kadang-kadang lebih nekad dibandingkan tentara reguler bahkan anggota pasukan khusus, dengan perlengkapan senjata seadanya mereka justru mampu menembus garis depan.

Karena keberadaan mereka yang tidak resmi atau ilegal, kerapkali keberadaan mereka mengundang opini negatif bahkan kecaman dari organisasi-organisasi hak asasi manusia. Sering keberadaan mereka justru terlibat dalam dunia kriminalitas seperti mafia, atau triad yang umumnya terlibat antar negara seperti kasus mafia obat bius atau narkotika, atau dalam pelanggaran HAM berat.

Keberadaan mereka tidak pernah terlepas dari setiap konflik maupun pepearangan bahkan sejak peradaban ribuan tahun silam. Tercatat dalam sejarah, Karthago misalnya, menempatkan tentara-tentara bayaran dalam jajaran resmi militernya dalam menghadapi ancaman hegemoni Romawi, tak terkecuali para firaun, raja-raja, shogun memanfaatkan keberadaan mereka dalam perang.

Selain tentara bayaran, sering juga ditemukan para petualang politik (avonturir) bahkan pejuang-pejuang bersenjata yang beroperasi antar negara atau disetiap negara negara yang mengalami konflik bersenjata. Perbedaannya dengan tentara bayaran, para petualang politik atau pejuang lintas negara biasanya terjun dalam konflik karena kesamaan ideologi, aliran, semangat etnis atau agama, atau mendapatkan kewarganegaraan asing (misalnya Legiun Asing Prancis), melarikan diri dari masa lalu yang kelam, atau untuk mencari petualangan. Dalam dunia kontemporer, yang termasuk dalam kategori ini misalnya Che Guevara, Osama bin Laden, Ibnul Khattab yang muncul dalam peperangan di Bosnia Herzegovina, Kosovo dan Chechnya dan Shamil Basayev di Chechnya dan Ingusethia.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Melalui Konvensi Jenewa 1949, dunia mencoba menggaris bawahi pengertian mercenary (tentara bayaran). Berikut kutipan Protocol Additional dari Geneva Convention (GC) pada tanggal 12 Agustus 1949 dan terkait dengan Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), tertanda 8 Juni 1977.

tentara bayaran in more languages

Konflik dua kekuatan itu yang mengundang negara asing. Turki dan juga Italia, masuk mendukung GNA. Sementara Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, dan Jordania mendukung Haftar. Yang lebih menarik adalah baik Turki maupun Rusia tidak menerjunkan tentaranya langsung melainkan menggunakan tentara bayaran. Sementara negara-negara Uni Eropa dan AS melihat dari luar sambil berusaha mencari solusi damai.

Apa yang mendorong Turki dan Rusia mengalihkan perhatian dan fokusnya dari Suriah ke Libya? Ada banyak alasan. Meskipun mereka tetap tidak meninggalkan Suriah, juga karena beberapa alasan. Turki, misalnya, berbatasan langsung dengan Suriah dan berurusan dengan kelompok Kurdi yang menguasai wilayah Suriah utara, daerah yang berbatasan dengan Turki. Rusia tetap menginginkan palabuhan Tartus di Suriah, misalnya.

Tentara yang loyal pada Pemerintah Kesepakatan Nasional bersiap bertolak menuju Sirte, Tripoli, Libya, 6 Juli 2020.

Istilah tentara bayaran, mercenary dalam bahasa Inggris, berasal dari kata dalam bahasa Latin, mercennarius (sewa, sewaan, upahan, bayaran, tentara sewaan). Karena itu, Shorter Oxford English Dictionary (2007) edisi ke-6 mendefinisikan mercenary sebagai ”... seorang tentara profesional yang menjalankan tugas kekuatan asing.”

Sejarah menceritakan bahwa mula pertama tentara bayaran muncul setelah Perang Peloponnesia (431–404 SM), berakhir antara dua negara-kota terkemuka di zaman Yunani kuno, Athena dan Sparta. Akibat perang, perekonomian kedua negara-kota morat-marit dan kemiskinan merajalela. Salah satu cara untuk menyiasati hidup adalah menjadi tentara bayaran. Sekarang kesulitan ekonomi dan kemiskinan juga yang mendorong seseorang terjun menjadi tentara bayaran.

Pada Abad Pertengahan hingga awal abad ke-18, marak digunakan tentara bayaran. Perang Seratus Tahun (1337-1453) antara Perancis dan Inggris, juga banyak menggunakan tentara bayaran. Sehingga bisnis tentara bayaran pada waktu itu laku keras. Negara-negara kota Italia kaya-kaya, tetapi mereka tidak mampu membentuk tentara yang kuat, mereka pun menyewa condottieri, tentara bayaran, yang sangat biasa di Eropa antara abad ke-14 hingga ke-16.

Sejumlah negara, misalnya, Swiss menjadi pemasok utama tentara bayaran. Dan, Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, menjadi salah satu penggunanya. Dalam perkembangannya, tentara bayaran menjadi benar-benar multinasional. Raja Prussia Frederick Agung atau Frederick William II (1712-1786), yang kondang sebagai ahli strategi militer pada waktu berkobar Perang Tujuh Tahun 1756-1763 antara Prussia dan Austria, Perancis,  Rusia, serta Swedia menggunakan tentara bayaran, menggabungkan seluruh pasukan Saxon dalam pasukannya.

Setelah Revolusi Perancis (1789-1799), penggunaan tentara bayaran dilarang di Perancis. Bahkan Napoleon berhasil menerapkan wajib militer yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain (Holger Hestermeyer, 2016).

Personel berpakaian sipil dari perusahaan Blackwater, AS, ikut dalam baku tembak dengan pendukung Muqtada al-Sadr di Najaf, Irak, Oktober 2007. Tentara bayaran terlibat dalam berbagai konflik di Timur Tengah.

Akan tetapi, pasca-revolusi malah muncul sejumlah institusi militer yang begitu terkenal. Pada tahun 1831, Perancis membentuk Legiun Asing Perancis. Tentara Inggris mempekerjakan unit Gurkha, tentara Spanyol pada 1920 membentuk Legiun Asing (Tercio de Extrajeros), dan Uni Emirat Arab menyewa tentara dari Oman, Yaman, Jordania, Pakistan, dan Inggris.

Menurut Holger Hestermeyer (mengutip pendapat A-F Musah dan J Kayode Fayemi, Mercenaries: An African Security Dilemma, 2000), tentara bayaran muncul lagi selama proses dekolonisasi Afrika pada tahun 1960-an. Mereka disewa oleh kekuatan kolonial, kelompok-kelompok separatis, pemerintah, pemberontak, dan pada waktu itu perusahaan-perusahaan multinasional yang harus berperang menghadapi gerakan pembebasan nasional atau mempertahankan kepentingan asing.

Tentara bayaran terlibat dalam berbagai konflik, misalnya, di Kongo 1960, Yaman 1964, Nigeria 1967, Angola 1975-1976, dan penggulingan Presiden Comoro Ahmed Abdallah pada 1975. Mereka juga digunakan oleh kartel-kartel obat bius.

Setelah Perang Dingin (1947-1991) berakhir, terjadi perubahan lagi dalam lingkungan keamanan. Ini terjadi karena kemunculan negara-negara gagal, konflik regional, perang saudara, dan juga kerusuhan yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Karena itu, muncullah lagi perusahaan-perusahaan militer/keamanan swasta yang menyediakan layanan keamanan. Mereka menyediakan layanan mulai dari pelatihan hingga perlindungan dan operasi negara.

Perusahaan-perusahaan militer swasta ini beroperasi dan terlibat dalam konflik dan perang antara lain di Angola dan Sierra Leon (1990-an), dan Perang Irak (2003). Pada saat perang Irak dan juga Afghanistan dikenal perusahaan layanan keamanan AS, yakni Blackwater.

Keluarga Ibrahim Abid, yang tewas akibat tindakan brutal dari karyawan Blackwater pada September 2007 di Baghdad mengunjungi makam Abid di Baghdad, 9 Desember 2008.

Padahal, Konvensi Geneva 1989 melarang tidak hanya penggunaan tentara bayaran, tetapi juga ”Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan, dan Pelatihan Tentara Bayaran.” Konvensi ini mulai berlaku pada 2001 dan ditandatangani 36 negara. Yang menarik, AS, Rusia, Turki, dan Inggris belum meratifikasi konvensi itu. Karena itu, tidak aneh kalau Rusia dan Turki kini menggunakan tentara bayaran dalam keterlibatan mereka di Libya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu yang menjadi penarik Turki dan Rusia terlibat dalam perang saudara di Libya adalah minyak dan gas alam. November lalu, dicapai kesepakatan antara Turki dan Libya berkaitan dengan perbatasan maritim di Laut Tengah antara kedua negara.

Dalam kesepakatan tersebut, perbatasan laut yang ada dimodifikasi dan menetapkan beberapa ladang gas yang ditemukan di Laut Tengah beberapa tahun lalu tidak lagi berada di zona maritim Libya melainkan berada di zona maritim Turki. Artinya menjadi milik Turki. Selain itu, ditandatangani pula kesepakatan menyangkut masalah kerja sama keamanan dan militer (Modern Diplomacy, 20/12/2019).

Sebagai imbalannya, di bidang militer, Turki memberikan bantuan kepada GNA perlengkapan militer, termasuk senjata antipesawat terbang, dan kendaraan bersenjataan. Bahkan, Turki mengirimkan tentara untuk mendukung GNA.

Karuan saja, langkah Turki terutama berkait dengan minyak membuat negara-negara di kawasan—Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel—yang memiliki kepentingan yang sama, meradang. Apalagi, pada Desember lalu, Turki dan GNA menyepakati untuk berbagi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang membentang dari pantai selatan Turki hingga pantai timur-laut Libya. Selain itu, Turki mengirimkan tentara bayaran untuk mendukung GNA menghadapi Haftar.

Anggota pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) berkumpul di kota Benghazi, dalam perjalanan menuju medan pertempuran di sebelah barat kota Sirte, Libya, 18 Juni 2020.

Sementara itu, Rusia juga terlibat dalam perang saudara di Libya. Seperti di Suriah, kepentingan Rusia di Libya, antara lain, termasuk perluasan wilayah pengaruhnya baik di bidang politik maupun militer di kawasan Timur Tengah dan Laut Tengah (Afrika Utara), setelah AS sibuk dengan dirinya sendiri. Rusia juga tertarik pada minyak Libya dan ingin membangun kontrak untuk pembangunan Libya.

Yang menarik adalah pihak yang didukung Rusia berbeda dengan yang didukung Turki. Rusia mendukung Haftar, sedangkan Turki mendukung GNA.  Keduanya sama-sama berharap bahwa pada akhirnya pihak yang didukung akan memenangi perang saudara. Itu berarti mereka akan memperoleh keuntungan ekonomi, terutama di bidang perminyakan, sekurang-kurangnya.

Ini sama dengan posisi mereka di Suriah. Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad (ada kepentingan strategis dan ekonomis); sebaliknya, Turki mendukung kelompok oposisi yang menginginkan Bashar disingkirkan. Meskipun belakangan mereka bisa bersama. Namun, Turki di Suriah memiliki kepentingan khusus, yakni menyingkirkan kelompok Kurdi, terutama di sepanjang perbatasan Turki-Suriah di Suriah bagian utara.

Rusia juga, seperti di Suriah, dengan mendukung Haftar dalam rangka mencari pelabuhan laut dalam di pantai Mediterania, mengendalikan pasokan minyak ke Eropa, pengaruh atas arus migran ke Eropa dari Afrika sub-Sahara, dan mengharapkan mendapatkan kontrak rekonstruksi Libya pasca-perang nanti.

Haftar mulai mencari bantuan dari Rusia pada 2015 setelah terkesan oleh operasi Rusia di Suriah. Untuk mendapatkan dukungan Rusia, Haftar menjanjikan ”minyak, pembangunan jalur kereta api, jalan bebas hambatan, dan apa saja yang diinginkan.” Sebaliknya, Rusia diharapkan memberikan bantuan militer dan dukungan diplomatik dalam pertarungan melawan GNA.

Sebuah gambar yang dirilis oleh AFRICOM AS, Komando Afrika-AS yang bertanggung jawab atas hubungan militer dengan negara-negara dan organisasi regional di Afrika, pada 26 Mei 2020 dilaporkan menunjukkan sebuah jet MIG-29 Rusia di tanah Libya.

Keterlibatan Turki dan Rusia dalam perang saudara di Libya sangat menarik sekaligus membuat situasi tambah pelik. Mereka tidak ”mencelupkan tangannya secara langsung.” Baik Turki maupun Rusia menggunakan tentara bayaran (Arabia Policy, 24 Juni 2020). Pada 2 Januari 2020, Parlemen Turki meratifikasi sebuah memorandum yang diajukan istana kepresidenan tentang pengiriman pasukan Turki ke Libya.

Pasukan yang dikirim adalah tentara bayaran. Dengan menggunakan tentara bayaran, biaya perang relatif lebih murah dan risiko lebih kecil, misalnya, tidak akan kehilangan tentaranya sendiri. Selama ini, tentara bayaran sudah terlibat dalam beberapa perang, mulai dari perang di Irak (invasi AS tahun 2003) di Suriah, Yaman, dan sekarang di Libya.

Dalam keterlibatannya di Libya, Rusia bermain lebih ”cantik”, tidak mau mengotori tangannya sendiri, ketimbang Turki. Moskwa menjalin kerja sama militer dengan Wagner Group, sebuah korporasi militer swasta yang dekat dengan Kremlin. Jadi, Wagner Group-lah yang mengirimkan tentaranya. Kantor berita Reuters yang mengungkap laporan rahasia PBB, melaporkan kehadiran 1.200 tentara bayaran dari Wagner Group di Libya (Libya Observer, 7 Mei 2020).

Sementara, Turki secara terbuka mendukung GNA dengan merekrut anggota-anggota kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini sudah ”dibina”. Menurut Syrian Observatory for Human Rights yang berpusat di Inggris, Turki merekrut 10.000 orang Suriah untuk bertempur di Libya. Tentang perekrutan orang-orang Suriah oleh Turki untuk berperang di Libya juga diungkapkan oleh Syrian for Truth and Justice (STJ) dalam laporannya 11 Mei 2020.

STJ melaporkan tentara bayaran itu direkrut dari kelompok-kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini mempunyai jalinan dengan Turki. Mereka, antara lain, Korps Pertama Tentara Nasional, Divisi Sultan Murad, Divisi Mu’tasim, Brigade Suleiman Shah atau al-Amshat, Levant Front, Glory Corps/Faylaq al-Majd, Jaysh al-Islam, Brigade Al-Moutasem, Faylaq al-Sham, Nour al-Din al-Zeki, Jaysh al-Tahrir, Divisi Hamza, Jaish al-Nasr, dan Liqa Suqur al-Jabal.

Pendukung orang kuat militer Libya Khalifa Haftar ikut serta dalam pertemuan di kota pelabuhan Benghazi di Libya timur pada (5/7/20200), untuk memprotes intervensi Turki dalam urusan negara itu.

Turki tidak hanya merekrut tentara bayaran dari Suriah, tetapi juga dari Yaman. Sumber intelijen dan militer Yaman mengungkapkan, 200 tentara bayaran dari Yaman telah dikirim ke Libya oleh Turki. Berita tersebut juga dibeberkan oleh Yemen News Portal, yang mengungkapkan sebuah kelompok milisi yang berafiliasi dengan Partai Islah di Marib telah mengirim tentaranya ke Turki.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan Libya? Pasti akan sangat tergantung dari negara lain, yang sekarang terlibat. Jika, misalnya, GNA kalah, Turki akan kehilangan akses ke ladang minyak dan gas di Laut Tengah, Rusia yang akan menikmati hasil. Jika Haftar menang—Rusia juga menang—berarti akan membuyarkan kesepakatan yang sudah dicapai antara Tripoli dan Ankara.

Situasi akan bertambah rumit bila negara-negara Arab saingan Turki seperti Mesir juga terpancing untuk terlibat langsung. Karena itu, kondisi pasti akan bertambah buruk. Libya benar-benar menjadi panggung kompetisi proksi. Dan, semua itu akan memperpanjang penderitaan rakyat negeri kaya minyak ini. Moammar Khadafy di ”atas” pasti akan sedih melihat negerinya hancur; dihancurkan oleh ambisi untuk merebut kekuasaan dan kekayaan alam.