Kbmi 3 Modal Berapa

Kbmi 3 Modal Berapa

Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan perubahan klasifikasi bank dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) menjadi kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) tidak mewajibkan penyesuaian modal inti menjadi Rp 6 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana mengatakan, aturan modal inti minimum perbankan yang akan berlaku tetap Rp 3 triliun. Modal minimal ini wajib dipenuhi pada tahun 2022 dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) diberi kelonggaran hingga tahun 2024.

"Pengelompokan KBMI ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam. Aturan modal inti tetap Rp 3 triliun. Kalau dalam perkembangannya sangat cepat maka bank akan secara alamiah tambah modal karena digitalisasi butuh teknologi dan teknologi membutuhkan modal," jelas Heru dalam paparan virtual, Senin (23/8).

OJK telah melakukan redefinisi pengelompokan Bank Umum dari sebelumnya BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI). Hal tersebut terdapat dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.

Kelompok KBMI 1 memiliki modal inti sampai dengan Rp 6 triliun, KBMI 2 punya modal inti di atas Rp 6 triliun sampai dengan Rp14 triliun; KBMI 3 modal inti dari Rp14 triliun sampai dengan Rp 70 triliun, dan KBMI 4 modal intinya di atas Rp 70 triliun.

Baca Juga: Investor asing masih berburu bank di Indonesia

Heru juga menegaskan, tidak ada bank yang turun atau naik kelas terkait dengan pengelompokan baru tersebut.

Dulunya, pengelompokan bank dilakukan berdasarkan BUKU dengan tujuan mendorong konsolidasi. Bank BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital dengan harapan bank mau menambah modal agar naik BUKU.

Namun dalam perkembangannya, tujuan OJK tersebut tidak tercapai. Oleh karena itu, OJK memutuskan untuk melakukan perubahan dengan KBMI yang tujuannya agar dapat membuat klaster bank itu menjadi lebih tepat sehingga modal inti itu tidak terlalu jauh antara bank satu dan bank lain.

"Ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam, untuk kepentingan bagaimana kita membuat klastering lebih tepat antara bank-bank yang modal intinya sangat-sangat jauh, keperluan statistik dan ketepatan pengelompokkan bank sesuai peer-nya," kata dia.

Selain itu, pengelompokkan baru ini juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien.

Adapun angka-angka pengelompokan baru tersebut sudah melaui kajian akademis dan menyesuaikan dengan best practice di negara lain.

"Pengelompokan ini betul-betul kami siapkan, kami kaji sangat panjang, sehingga kami akhirnya mengeluarkan angka-angka seperti itu," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk Editor: Herlina Kartika Dewi

Baru-baru ini dunia bisnis dan perbankan dihebohkan dengan diterbitkannya Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Pasalnya, di peraturan tersebut ada perubahan yang cukup menggemparkan terkait dengan pengelompokan bank umum yang tak lagi didasarkan pada kegiatan usaha, tetapi pada modal inti. Apa sebenarnya esensi dan tujuan dari peraturan tersebut serta bagaimana implementasinya? Simak uraian selengkapnya berikut ini.

Setiap bisnis pastilah memiliki modal sebagai sumber daya finansial yang wajib hukumnya. Demikian pula dalam bisnis di industri perbankan. Modal inti dalam perbankan dapat dipahami sebagai modal yang disetor oleh para pemilik bank dan modal yang bersumber dari cadangan yang dibentuk serta masih ditambah dengan laba yang ditahan. Jadi, modal inti bank merupakan akumulasi dari modal disetor, cadangan yang dibentuk, dan laba ditahan.

Ditinjau dari komposisinya, komponen terbesar dari modal inti adalah modal saham yang disetor. Sementara selebihnya tergantung pada laba yang diperoleh dan kebijakan yang diambil dan disepakati dalam rapat umum pemegang saham.

Redefinisi pengelompokan bank umum

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pengelompokan bank umum didasarkan pada kegiatan usaha yang dikenal dengan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Penggunaan istilah BUKU dalam penggolongan bank umum ini bertujuan untuk mendorong konsolidasi, karena pengajuan kegiatan usaha sering kali dikaitkan dengan modal inti. Permasalahannya, modal inti pada bank golongan BUKU I dianggap belum cukup untuk membuat kegiatan usaha atau produk bank tertentu.

Sebelumnya skema pengelompokan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) ditentukan sebagai berikut.

Industri perbankan yang semakin berkembang baik dari segi teknologi dan layanan, penggolongan bank tersebut dirasa tidak lagi relevan. Selain itu, sering menjadi penghambat bisnis bank bertumbuh sesuai yang diharapkan, karena terbentur aturan modal inti. Sebab itu, OJK melakukan redefinisi atau perubahan pengelompokan bank umum yang sebelumnya menggunakan istilah BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI).

Adakah perbedaan mendasar atas perubahan pengelompokan bank umum tersebut? Jelas ada. Jika pada peraturan sebelumnya bank umum dikelompokkan berdasarkan kegiatan usahanya, sekarang didasarkan pada modal intinya. Pengelompokan bank umum menurut peraturan terbaru tetap digolongkan menjadi empat kategori Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI), dengan pembagian sebagai berikut.

Perubahan penggolongan bank umum ini jelas berpengaruh pada posisi atau kedudukan masing-masing bank. Sebelumnya dengan menggunakan kategori BUKU, terdapat delapan bank umum yang menduduki ‘kasta’ tertinggi. Namun dengan kategorisasi yang baru dengan KBMI, hanya terdapat empat bank umum saja yang menduduki posisi tertinggi, yaitu:

Ketentuan KBMI berlaku bagi bank umum berbadan hukum Indonesia, kantor cabang berkedudukan di luar negeri (KCBLN), bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah, dan unit usaha syariah bank. Untuk unit usaha syariah bank, ketentuan modal inti mengacu pada modal inti bank yang menjadi induknya.

Tujuan perubahan pengelompokan bank umum

OJK melakukan perubahan pengelompokan bank umum tentu saja memiliki tujuan tertentu. Secara umum, tujuan dari perubahan tersebut lebih mengacu pada kepentingan prudensial internal OJK. Meski terdapat perubahan pada modal inti, namun tidak ada bank yang naik atau turun kelas. Artinya, perubahan kelompok bank berdasarkan modal inti tidak berpengaruh pada ‘strata’ masing-masing bank.

Pada prinsipnya, aturan modal inti tetap Rp 3 triliun. Ketika kegiatan usaha bank mengalami kemajuan yang pesat, maka secara otomatis modal akan bertambah seiring dengan perkembangan teknologi, karena teknologi membutuhkan modal.

Bicara tentang teknologi digital, dulu bank umum yang termasuk dalam kategori BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital. Harapannya, bank terkait bersedia untuk menambah modal inti sehingga mengalami kenaikan BUKU. Sayangnya, harapan tersebut tidak terealisasi karena tak lagi relevan dengan kondisi dan perubahan zaman. Oleh sebab itu, OJK mengambil langkah mengubah kelompok bank umum berdasarkan modal inti. Perubahan ini dinilai merupakan langkah tepat, karena tidak lagi mengaitkan dengan kegiatan usaha jaringan bisnis bank, sehingga modal inti antara bank yang satu dengan bank yang lain tidak terlalu jauh.

Selain untuk kepentingan prudensial internal OJK, perubahan pengelompokan bank umum juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan yang efektif dan pengawasan yang efisien. Penetapan nilai modal inti pada masing-masing kategori atau kelompok telah melalui kajian akademis dan menyesuaikan dengan praktik perbankan di negara lain.

Implementasi peraturan perubahan kelompok bank umum

Dalam implementasi peraturan perubahan kelompok bank umum, OJK tidak menuntut bank segera menyesuaikan modal intinya sesuai dengan KBMI. Hal ini dimaksudkan agar OJK dapat menentukan kelompok bank secara tepat. Ke depannya, OJK akan mengawasi kelompok bank berdasarkan modal inti masing-masing bank di setiap kelas.

OJK mengevaluasi peraturan sebelumnya saat bank dikelompokkan berdasarkan kegiatan usaha, di mana konsolidasi bank tidak terealisasi meski aturan tersebut telah diimplementasikan bertahun-tahun, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan yang signifikan. Dalam implementasinya justru timbul masalah ketika terjadi perubahan peta bisnis bank yang menuju ke arah digitalisasi.

Syarat pengembangan atau ekspansi kegiatan usaha yang didasarkan modal inti sering kali menjadi kendala bank untuk maju dan berkembang. Tidak sedikit bank yang memiliki manajemen risiko bagus tetapi sulit bertumbuh karena terbentur aturan permodalan. Hal ini mengakibatkan bank-bank kecil mengalami stagnasi, karena tujuannya untuk bisa menjadi bank besar terhambat aturan modal.

Dengan mempertimbangkan kendala dan permasalahan yang timbul pada implementasi peraturan sebelumnya, OJK mencabut kelompok bank BUKU dan mengubahnya menjadi KBMI. Harapannya, bank-bank yang memiliki manajemen risiko bagus menurut regulator, bisa mengajukan perizinan baru untuk penambahan produk atau layanan.

Demikianlah artikel tentang Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI), semoga bermanfaat bagi Anda semua.

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

All Channels MARKET NEWS ENTREPRENEUR SHARIA TECH LIFESTYLE OPINI MY MONEY CUAP CUAP CUAN RESEARCH

All Article Types Artikel Foto Video Infografis

ILUSTRASI. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini terlihat lebih buruk dari bank KBMI 4./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/11/2019.

Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini kurang memuaskan. Sebagian besar bank di kelompok ini mencatatkan penurunan kinerja di tengah peningkatan beban bunga.

Jika dilihat dari laporan kuartalan bank KBMI 3, lima bank tercatat mengalami penurunan laba bersih. Pertumbuhan laba hanya ditorehkan oleh Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank Syariah Indonesia (BRIS), dan Bank Permata.

PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) mencatatkan laba bersih senilai Rp 5,13 triliun hingga kuartal III 2024. Nilai tersebut tumbuh 4,7% secara tahunan atau year on year (YoY) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang ada di Rp 4,95 triliun.

Baca Juga: Risiko Kredit Macet Tetap Mengintai Perbankan, Meski Rasio NPL Membaik

Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, perolehan laba ini diiringi dengan penyaluran kredit yang naik 6,4% YoY menjadi Rp 218,6 triliun, terutama dari pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang naik 9,4 % YoY, diikuti oleh perbankan korporat yang tumbuh 7,1% YoY, dan Perbankan Konsumer meningkat 5,4% YoY.

"Kenaikan tertinggi di kredit atau pembiayaan retail terutama dikontribusikan dari pertumbuhan Kredit Pemilikan Mobil (KPM) yang meningkat sebesar 18,2 persen YoY," kata Lani dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (2/11).

Adapun PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,11 triliun hingga kuartal-III 2024. Angka tersebut naik 21,60% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan pencapaian tersebut tak lepas dari pertumbuhan bisnis yang sehat. Hingga kuartal-III 2024 pendapatan margin bagi hasil BSI mencapai sebesar Rp 18,41 triliun, tumbuh sebesar 1,98% YoY.

Selain itu, indikator profitabilitas mengalami kenaikan dilihat dari Return on Asset (ROA) yang mengalami kenaikan sebesar 12 basis poin year to date mencapai sebesar 2,47% dan Return on Equity atau ROE tercatat di level 17,59 persen, naik dari September 2023 di angka 16,85%.

Baca Juga: Kinerja Mobile Banking Bank KBMI 4 Melesat, Siapa Pemimpin Transaksi Tertinggi?

"Dengan demikian BSI mampu membukukan laba bersih kuartal ketiga 2024 sebesar Rp 5,11 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 21,60% secara YoY," kata Hery.

Sementara PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC) membukukan laba bersih Rp 3,82 triliun pada akhir September 2024, meningkat 25,24% YoY.

Pertumbuhan laba bersih ini didorong oleh pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang naik sebesar 10,03% YoY menjadi Rp 8,12 triliun, seiring dengan penurunan beban cadangan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan.

Pertumbuhan kinerja ini juga didukung dari aksi korporasi perseroan yang telah mengakuisisi PT Bank Commonwealth (PTBC) pada Mei 2024.

“Memasuki kuartal ketiga tahun ini, bank semakin tangguh dengan mencatatkan kinerja yang tumbuh secara konsisten. Pertumbuhan aset yang mencapai 16% dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8% mencerminkan kepercayaan nasabah yang semakin besar terhadap OCBC," ungkap Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur OCBC.

PT Bank Permata Tbk. (BNLI) juga membukukan pertumbuhan laba bersih 30,1% YoY mencapai Rp2,8 triliun pada kuartal III-2024.

Direktur Utama Bank Permata Meliza M. Rusli menyampaikan angka positif tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit kepada segmen korporasi, komersil, dan konsumer. Kolaborasi dengan Bangkok Bank juga turut menyokong kinerja.

Baca Juga: Cermati Sektor-Sektor Menarik di Musim Laporan Keuangan Kuartal III 2024

“Penyaluran kredit yang dilakukan secara fokus dan konsisten dengan prinsip kehati-hatian menghasilkan pertumbuhan kredit sebesar 8,6% menjadi Rp150,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” katanya.

Adapun bank yang mengalami kontraksi laba, di antaranya Bank Danamon dengan penurunan sebesar 8,9%, Bank BTPN sebesar 4,7%, Bank Panin 19%, Maybank Indonesia 55,2%, dan Bank Mega sebesar 28,5%.

Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji menilai, pergerakan harga saham nya yang relatif liquid ada Bank Niaga, Bank Danamon, dan BRIS.

"Kalau menurut saya dalam manfaatkan kondisi pergerakan harga, misalnya kalau BDMN kan sideways ya, primary trendnya. Tapi jika dalam keadaan bullish atau uptrend, memang saya melihat ada Bank CIMB Niaga, dan BRIS. Kalau sisanya untuk bank-bank lainnya memang harus ada tuntutan untuk melakukan aksi korporasi dalam rangka meningktkan likuiditas," ungkap Nafan kepdaa kontan.co.id, Minggu (3/11).

Misalnya kata Nafan dengan melakukan rights issue, pendanaan, dan merger. Seperti merger yang dialami oleh NISP, dan Bank Commonwealth. Nafan melihat, untuk saham NISP memang sempat bullish, tapi bullishnya juga karena faktor merger. "Merger kan berakhir, jadi sentimennya juga berakhir," katanya.

Lebih lanjut Nafan menjelaskan, terkait kinerja fundamentalnya semuanya tergantung bagaimana perbankan tersebut bisa mampu meningkatkan ekspansi bisnis. Baik itu dalam bentuk lendings maupun juga savings.

Baca Juga: Perbankan Berlomba Menggenjot Mobile Banking

Juga secara umum, secara makro. Jika melihat tren penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia ke depan disebut Nafan akan terbuka lebar. Hal ini sering dengan adanya kebijakan bank sentral global dalam rangka menurunkan suku bunga acuan.

"Paling ini diharapkan bisa mampu meningkatkan likuiditas. Dengan demikian maka bank-bank tersebut diharapkan bisa mampu menjalankan ekspansi bisnisnya. Dalam hal ini ekspansi kredit. Sehingga bisa memperkuat kinerja net interest margin ke depannya," imbuhnya.

Sementara, Investment Consultant Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada mengatakan, saham-saham bank lapis dua yang  menarik dikoleksi jika melihat kinerja keuangannya yang positif di kuartal III di antaranya saham NISP, BNLI, BNGA, dan BRIS.

Menurutnya, dengan fundamental yang kuat dan pertumbuhan yang konsisten, saham NISP memiliki prospek yang positif, sementara saham BNGA memiliki valuasi yang murah dengan Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV) yang masih di bawah rata-rata industri, menjadikannya pilihan yang menarik.

"Adapun saham BNLI masih menarik untuk dipertimbangkan karena memiliki potensi untuk tumbuh lebih lanjut. Secara keseluruhan, meskipun beberapa bank mengalami penurunan laba, prospek saham bank lapis dua masih menarik karena valuasi yang relatif murah dan fundamental yang kuat," kata Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Selvi Mayasari Editor: Handoyo .

Sastrawati , T. ., & Muchtar, S. (2024). Pengaruh Macroeconomi dan Bank Specific terhadap Non- Performing Loans pada Bank KBMI 3 yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. El-Mal: Jurnal Kajian Ekonomi & Bisnis Islam, 5(4), 2469–2476. https://doi.org/10.47467/elmal.v5i4.1096